rss

Friday 19 March 2010

Perubahan Gelar S.H.I. Cacat Hukum

By Van Elkindy, sumber:
http://polhukam.kompasiana.com/2010/03/14/perubahan-gelar-sarjana-hukum-islam-cacat-hukum/

Ada kurang lebih 10.000-an orang mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN / IAIN / STAIN seluruh Indonesia sedang risau. Pangkalnya, gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) yang semestinya bakal mereka sandang ketika kelak diwisuda, akan diganti dengan gelar Sarjana Syariah yang disingkat S.Sy. Perubahan ini bersumber pada Peraturan Menteri Agama No.36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama (Permenag 36/2009).



Sudah muncul riak-riak perlawanan dari kalangan mahasiswa. Kamis 11 Maret 2010 lalu, ratusan mahasiswa Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar aksi di dalam kampusnya, menolak Permenag 36/2009. Menurut mereka, Permenag 33/2009 merupakan diskriminasi pendidikan yang dapat berakibat melemahkan daya saing mahasiswa lulusan Fakultas Syariah di kancah global. Hal yang sama sebelumnya juga sudah dilakukan oleh para mahasiswa Syariah di Banten pada November 2009 lalu.

Begitu pula mahasiswa Syari’ah di UIN Jakarta tengah menyiapkan perlawanan menolak Permenag 36/2009. “Dalam waktu dekat ini kita akan coba jalur dialog dulu dengan pihak Dekanat dan Rektorat. Surat permohonan audiensi sudah kita ajukan. Minggu-minggu ini akan dilaksanakan dialog,” kata Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fak. Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

Perubahan gelar ini dinilai berpotensi mempersempit ruang mahasiswa lulusan fakultas Syariah untuk berkiprah di dunia kerja. “Dengan gelar Sarjana Hukum Islam saja, masih banyak alumni-alumni Fakultas Syariah yang terhalang mengakses bidang kerja yang sebenarnya kita punya kompetensi untuk mendudukinya, apalagi dengan gelar Sarjana Syariah pasti akan tambah banyak orang menilai kita tidak punya kompetensi,” timpal Ucok, mahasiswa akhir Fakultas Syariah & Hukum UIN Jakarta asal Tapanuli Selatan.

Mustolih Siradj, alumni Fakultas Syariah & Hukum UIN Jakarta angkatan 99 yang saat ini tengah menunggu diangkat sebagai Advokat oleh PERADI, menilai Kementerian Agama (KEMENAG) tergesa-gesa menerbitkan Permenag 36/2009. Semestinya Permenag ini harus mempertimbangkan faktor-faktor Sosiologis dan tidak semata-mata pertimbangan akademis semata.

“Harusnya dilibatkan dan didengar persfektif dari para alumni Fakultas Syariah yang mereka punya banyak pengalaman di lapangan saat berjuang mendapatkan pekerjaan dengan modal gelar Sarjana Hukum Islam. Jadi jangan cuma mendengar pertimbangan dari kalangan akademis saja, yang sudah pasti sudut pandang mereka selalu dari menara gading,” ujar Mustolih.

PERMENAG 36/2009 CACAT HUKUM

Dari perspektif yang berbeda, Irfan Fahmi el Kindy, alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 97, yang juga Advokat angkatan pertama PERADI, menyoroti keabsahan terbitnya Permenag 36/2009 yang dinilainya mengandung cacat hukum. Karena kewenangan Menteri Agama dalam menetapkan gelar akademik di lingkungan perguruan tinggi agama tidak memiliki landasan hukum.

“Saya sudah baca peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam konsideran Permenag 36/2009. Hasilnya, saya tidak menemukan pasal-pasal yang memberikan kewenangan Menteri Agama dalam menetapkan gelar akademik pada perguruan tinggi di lingkungan agama. Jadi sah saja kalau saya katakan Permenag ini cacat hukum,” imbuh Irfan.

Irfan menambahkan argumentasinya, “Pasal 21 ayat 7 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatur bahwa ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP yang dimaksud dalam pasal 21 itu sampai hari ini belum ada, lalu kok bisa Menteri Agama punya kewenangan mengatur untuk menetapkan suatu gelar akademik. Dari mana dasarnya?”

“Kalau PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi yang dijadikan dasar kewenangan Menag (Menteri Agama) menetapkan gelar akademik, juga tidak tepat. Karena pasal 22 ayat 4 PP 60/1999 menyatakan bahwa jenis gelar dan sebutan, singkatan dan penggunaannya diatur oleh ‘MENTERI’. Nah, Menteri disini, bukanlah Menteri Agama. Tetapi Menteri yang bertanggungjawab di bidang pendidikan nasional. Coba saja baca pasal 1 PP 60/1999 angka 12 dan 13, di situ ada dua istilah Menteri. Yaitu ‘MENTERI’ dan ‘MENTERI LAIN’. Yang dimaksud MENTERI LAIN adalah pejabat yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan satuan pendidikan tinggi di luar lingkungan Departemen. Jadi sudah jelaskan. Menteri Agama tidak punya kewenangan!” papar Irfan dengan lugas.

Dari paparannya, Irfan menyimpulkan, “Permenag 36/2009 saya kira jelas cacat hukum. Setidaknya Permenag ini melanggar asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yaitu asas ‘kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat’ sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 5 hurup b UU No.10 Tahun 2004. Karenanya, Permenag ini bisa diuji materi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang dirugikan untuk dibatalkan.”

Ketentuan Permenag 36/2009 ini sebenarnya juga menetapkan perubahan gelar untuk program studi pada fakultas lain di perguruan tinggi agama. Namun baru mahasiswa Syariah yang mengibarkan genderang perlawanan. Belum terdengar perlawanan dari mahasiswa fakultas lain. “Yah dimaklum saja. Di lingkungan UIN Jakarta, dan UIN lainnya, mahasiswa Syariah punya kultur tradisi kritis yang lebih kuat. Saya kira mahasiswa fakultas lain pasti akan menyusul menolak Permenag ini,” tandas Irfan yang juga eksponen aktivis mahasiswa 98 dari elemen Forum Kota (Forkot).

0 komentar:

 

Anda Pengunjung Ke :