Di dalam kitab-kitab fiqih umumnya, perkawinan anata pemeluk agama masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita kitabiyah – yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani – dengan berdasarkan pada surat al-Maidah: 5
Artinya: “Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
- Menurut pendapat yusuf al-qardhawi; kebolehan nikah dengan kitabiyah tidak mutlak.
- Menurut Imam Syafi’I; kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkan al-Qur’an. Jika setelah turun al-Qur’an mereka tetap beragama tersebut maka tidak termasuk ahli kitab.
- Menurut madzhab Hanafiy, Malikiy dan Hambali; kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh.
- Menurut Majelis Ulama Indonesia dalam KHI; tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama.
Yang perlu diperhatikan adalah bunyi pasal 2 UU No.1 tahun 1974 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
o Perkawinan antar kewarganegaraan yang berbeda
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesai yang berlaku.
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, dijelaskan dalam pasal 56 UU No.1/1974:
(1) Perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia anatara orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah, bilamana dilakukan menurut undang-undang yang berlaku di Negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor Pencatat Perkawinan tempat tinggal mereka.
Pasal 19 ayat (1) dari pasal ini dinyatakan bahwa “warga Negara Asing yang kawin secara sah denga Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat.” Dan dalam ayat selanjutnya juga disyratkan “telah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut.”
Dalam pasal 56 menyatakan bahwa setiap pasangan yang menikah di luar negeri diharuskan mencatatkan perkawiannya ke pejabat yang berwenang yakni kantor catatan sipil dalam jangka waktu 1 tahun sejak mereka tinggal di Indonesia.
- Menurut Imam Syafi’I; kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkan al-Qur’an. Jika setelah turun al-Qur’an mereka tetap beragama tersebut maka tidak termasuk ahli kitab.
- Menurut madzhab Hanafiy, Malikiy dan Hambali; kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh.
- Menurut Majelis Ulama Indonesia dalam KHI; tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama.
Yang perlu diperhatikan adalah bunyi pasal 2 UU No.1 tahun 1974 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
o Perkawinan antar kewarganegaraan yang berbeda
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesai yang berlaku.
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, dijelaskan dalam pasal 56 UU No.1/1974:
(1) Perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia anatara orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah, bilamana dilakukan menurut undang-undang yang berlaku di Negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor Pencatat Perkawinan tempat tinggal mereka.
Pasal 19 ayat (1) dari pasal ini dinyatakan bahwa “warga Negara Asing yang kawin secara sah denga Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat.” Dan dalam ayat selanjutnya juga disyratkan “telah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut.”
Dalam pasal 56 menyatakan bahwa setiap pasangan yang menikah di luar negeri diharuskan mencatatkan perkawiannya ke pejabat yang berwenang yakni kantor catatan sipil dalam jangka waktu 1 tahun sejak mereka tinggal di Indonesia.